08 Desember 2008

Keterampilan Proses IPA — Kerja Ilmiah



Keterampilan proses IPA merupakan seperangkat keterampilan yang digunakan para ilmuwan untuk melakukan penyelidikan ilmiah. Keterampilan proses ipa dapat dibedakan menjadi sejumlah keterampilan proses yang perlu dikuasai bila seseorang hendak mengembangkan pengetahuan ipa dan metodenya.


Carin, 1992, menyampaikan beberapa alasan tentang pentingnya keterampilan proses, yaitu :


(1) dalam prakteknya apa yang dikenal dalam ipa merupakan hal yang tidak terpisahkan dari metode penyelidikan. Mengetahui IPA tidak hanya sekedar mengetahui materi ke-IPA-annnya saja, tetapi terkait pula dengan mengetahui bagaimana cara untuk mengumpulkan fakta dan menghubungkan fakta-fakta untuk membuat sutu penafsiran atau kesimpulan;


(2) keterampilan proses IPA merupakan keterampilan belajar sepanjang hayat yang dapat digunakan bukan saja untuk mempelajari berbagai macam ilmu tetapi juga dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari.Keterampilan proses yang digunakan dalam pembelajaran IPA, didasarkan pada serangkaian langkah-langkah kegiatan yang biasanya ditempuh oleh para ilmuwan untuk mendapatkan atau menguji suatu pengetahuan yang dapat berupa konsep atau prinsip.


Beberapa keterampilan proses IPA antara lain adalah :


(1) observasi;


(2) inferensi;


(3) merumuskan masalah;


(4) melakukan prediksi dan membuat hipotesis;


(5) merancang penyelidikan;


(6) melakukan interpretasi dan komunikasi ilmiah.

Menjadi Guru yang Profesional

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia :
Guru adalah orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar.
Profesional adalah 1 bersangkutan dng profesi ; 2 memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya ; 3 mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya (lawan amatir)
Maka Guru yang profesional adalah mereka yang pekerjaannya mengajar dan dalam menjalankan pekerjaannya itu dituntut harus memiliki kepandaian khusus dan menerima pembayaran yang layak atas pekerjaannya tersebut.
Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen telah disahkan oleh DPR RI pada tanggal 6 Desember 2005 yang lalu. Besar harapan, kehadiran UU tersebut dapat mengubah wajah suram guru Indonesia yang berimplikasi pada meningkatnya kualitas pendidikan. UU tersebut telah mengakui kedudukan guru dan dosen sebagai sebuah profesi yang memberi konsekuensi kepada guru dan dosen untuk mengajar secara profesional. Profesional, seperti yang disebutkan dalam UU tersebut, menyaratkan bahwapekerjaan guru dan dosen menjadi sumber penghasilan yang memerlukan keahliandengan standar tertentu dan memerlukan pendidikan profesi.Berkaitan dengan guru secara khusus, UU tersebut mengatur berbagai hal seperti,kualifikasi, kompetensi dan sertifkasi, hak dan kewajiban, pembinaan danpengembangan, penghargaan, perlindungan dan organisasi profesi yang ujungnyaakan bermuara pada guru yang profesional. Menjadi pertanyaan penting kemudianadalah apakah isi dari UU tersebut akan mampu melahirkan guru yang profesional ?Lebih jauh dari itu pertanyaan yang sangat mendasar, apakah secara implisit kehadiran UU tersebut telah mampu mengubah potret suram pendidikan di negeri kita ?
Pembatasan masalah untuk menjawab itu tentunya cukup mengkaji salah satu pasal dari UU No 14 tahun 2005 yaitu pasal 8 yang berbunyi “Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional”.
Kompetensi yang harus dimiliki guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensikepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional yang diperoleh melaluipendidikan profesi. Lebih lanjut disebutkan dalam penjelasan UU tersebut,kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik.Kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, berahlak mulia,arif dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik. Kompetensi sosialmerupakan kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan pesertadidik, sesama guru, orang tua/ wali peserta didik dan masyarakat sekitar.Kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luasdan mendalam.Dari kewajiban di atas, kemudian akan muncul beberapa pertanyaan. Misalnyaberkaitan dengan kualifikasi akademik, yaitu S-1 atau D-4, pada hal sebelumnyaPemerintah telah melakukan penyetaraan D-2 bagi guru-guru SD yang berijazahsetingkat SPG dan penyetaraan D-3 bagi guru-guru SMP yang berijazah setingkatD-2. Upaya peningkatan kualitas guru dengan program penyetaraan ini saja belummenunjukkan hasilnya terhadap peningkatan profesionalitas guru malah UU sudahmewajibkan peningkatan kualifikasi akademik.Berikutnya, berkaitan dengan sertifikasi pendidikan menimbulkan kerancuan denganprogram akta IV. Kekhawatiran yang timbul kemudian adalah program-program inihanya berorientasi proyek dan formalitas belaka. Apalagi sertifikasi ini menjadisalah satu syarat untuk memperoleh tunjangan profesi dan Pemerintah mempunyaikewajiban dalam 10 tahun ke depan untuk melakukan sertifikasi ini.Berkaitan dengan kompetensi guru, pada kenyataannya, sistem pendidikan di negarakita tidak mendukung perwujudan kompetensi tersebut. Misalnya, dalam melakukanevaluasi hasil belajar sebagai salah satu bagian dari kompetensi pedagogik,ternyata dirampas oleh pemerintah dengan pelaksanaan UN. Evaluasi (baca : UN) yang dilakukan dalam waktu beberapa jam telah menjadi justifikasi bagi prestasi belajar siswa selama sekolah. Mengesampingkan nilai harian yang dievaluasi olehguru yang berarti juga bertentangan dengan prinsip-prinsip Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).
Pertanyaannya sekarang adalah menjadi guru yang profesional itu adalah kewajiban profesi yang harus muncul secara internal dari personal guru itu sendiri atau ada kewajiban pihak birokrasi (sebagai pembuat kebijakan di level manajemen) yang harus memberikan ruang gerak seluas-luasnya kepada guru untuk menjadikan dirinya profesional ?